Jejak Rasa Jawara: Menyusuri Kuliner dari Timur Jawa
![]() |
Surga Kuliner |
Rawon: Gelapnya Kuah, Terangnya Rasa
Pertemuan pertama saya dengan rawon bukan di restoran mewah,
melainkan di sebuah warung sederhana dekat terminal Ponorogo. Di sinilah saya
benar-benar merasa memahami mengapa rawon jadi ikon.
Kuah rawon berwarna hitam gelap karena kluwek, bahan yang
aromanya khas dan rasanya unik. Tapi bukan cuma warna yang menarik — melainkan
juga kedalaman cita rasa daging sapi yang direbus lama, menyatu sempurna dengan
bumbu.
“Saya pertama kali mencicipi rawon di Warung Mbak Nur,
Ponorogo. Kuah hitam pekatnya mengepulkan aroma kluwek yang khas. Waktu itu,
saya duduk di bangku kayu panjang bersama dua orang pekerja bangunan yang juga
mampir makan. Salah satu dari mereka bilang, ‘Rawon di sini lebih nendang
daripada di kampung saya.’”
Dari situ, saya paham bahwa kuliner bukan hanya soal rasa, tapi juga soal suasana.
![]() |
Surga Kuliner |
Rujak Cingur: Kacau yang Teratur
Sekilas, rujak cingur mungkin tampak seperti paduan kacau
dari sayur, buah, tahu, tempe, dan... potongan mulut sapi (cingur). Tapi justru
di situlah kekuatannya: kekacauan itu menghasilkan simfoni rasa.
Di Surabaya, saya pernah mencoba rujak cingur legendaris
dekat Taman Bungkul. Petisnya kuat, bahkan menusuk, tapi seimbang dengan
manisnya pisang muda dan renyahnya bengkuang. Saat saya mencoba versi lain di
Lamongan, rasanya lebih ringan, lebih bersahabat bagi lidah pemula. Artinya?
Setiap daerah punya “aksen” dalam menyuarakan rasa.
Lontong Balap: Lari ke Lidah
Jangan tertipu oleh namanya. Lontong balap bukan tentang
perlombaan, tapi tentang makanan yang dulunya dijajakan oleh penjual yang harus
"balapan" menghindari panas matahari. Terdiri dari irisan lontong,
tauge, lentho (kacang tolo goreng), dan kuah bawang yang gurih — kuliner ini
cocok disantap saat sore hari.
Saya mencicipi lontong balap di sekitar Pasar Wonokromo,
Surabaya. Penjualnya bercerita bahwa lontong balap warisannya sudah bertahan
tiga generasi.
“Dulu bapak saya keliling pakai pikulan. Sekarang saya
tetap pakai resep yang sama, tapi sudah mangkal,” katanya sambil menaburkan
bawang goreng dan sambal ke atas mangkuk.
Setiap suapan bukan cuma makanan, tapi juga kisah.
![]() |
Surga Kuliner |
Sate Ponorogo: Lebih dari Sekadar Tusuk
Sate dari Ponorogo punya karakter sendiri: daging ayam yang
dipotong panjang-panjang, dibumbui lebih dulu, lalu dibakar dengan sabar di
atas bara kelapa. Bumbunya? Kaya kacang dan rasa rempah yang mendalam.
Saya mencoba sate ini malam-malam di Jalan Trunojoyo. Saat
itu gerimis kecil menyapa. Penjualnya, Pak Giman, mengatakan bahwa dia mulai
berjualan sejak umur 17. Sekarang usianya hampir 60.
“Kalau malam rame mas. Apalagi kalau mendung kayak gini,
orang cari yang anget-anget.”
Sambil makan, saya dengerin cerita pengunjung lain —
ternyata banyak yang datang karena nostalgia rasa waktu kecil.
Tahu Campur: Kacau tapi Konsisten
Tahu campur adalah salah satu kuliner yang “menggabungkan
segalanya.” Ada tahu, daging sapi, mie kuning, selada, kerupuk, dan kuah petis.
Saya sempat heran, bagaimana semua ini bisa menyatu?
Tapi setelah mencicipi satu porsi di Gresik, saya mengerti.
Kombinasi bahan-bahan yang tampaknya tak nyambung itu justru menghasilkan
harmoni. Salah satu pengunjung di sebelah saya — seorang pengemudi truk —
bilang bahwa ia selalu mampir ke tempat ini sejak 15 tahun lalu.
Jejak Kuliner Jawara yang Tak Sekadar Rasa
Mengapa semua ini disebut “kuliner jawara”? Karena
masing-masing makanan ini punya kekuatan rasa, karakter lokal, dan latar cerita
yang tak bisa ditiru oleh daerah lain. Bahkan di tengah gempuran makanan
modern, rasa autentik mereka tetap hidup.
Untuk kamu yang ingin eksplor lebih banyak, kami
merekomendasikan daftar kuliner
jawara dari berbagai penjuru Jawa Timur di situs Kulinerjawa.com.
Di sana kamu akan temukan lebih banyak rekomendasi mulai
dari nasi krawu Gresik, sego tempong Banyuwangi, hingga semanggi Surabaya.
Kenapa Kuliner Lokal Harus Dijaga?
Dalam percakapan dengan salah satu pedagang rawon, saya
bertanya: “Kenapa masih tetap jual rawon? Padahal bisa saja ikut tren makanan
kekinian.” Jawabannya sederhana:
“Karena rasa asli ini yang bikin orang balik lagi.”
Dan memang benar. Kuliner seperti rawon, rujak cingur, atau
sate Ponorogo adalah identitas rasa yang perlu dijaga. Ia bukan hanya makanan —
tapi bagian dari budaya, dari cerita hidup banyak orang.
Penutup: Rasa, Cerita, dan Identitas
Kuliner bukan cuma soal kenyang. Ia adalah jejak rasa yang
membawa kita pulang ke akar budaya. Saat mencicipi rawon, tahu campur, atau
lontong balap, kita sedang mencicipi sejarah, identitas, bahkan cinta — cinta
dari para peracik yang setia menjaga rasa.
Jika kamu ingin menjelajah lebih jauh, jangan lupa singgah
ke kuliner jawara
lainnya yang sudah dikurasi langsung oleh tim Kulinerjawa.com.
Selamat mencicipi jejak rasa dari Timur Jawa — karena setiap
suapan adalah cerita.