Jejak Rasa yang Tak Lekang: Menyelami Filosofi dan Cita Rasa Kuliner Adat Jawa Timur
Bicara tentang kuliner adat Jawa Timur, kita bicara tentang Rawon yang
gelap namun menggugah, Rujak Cingur yang eksotis, hingga Pecel dengan harmoni
rasa alam. Setiap sajian tak hanya menggoda lidah, tapi juga menyimpan cerita
yang dalam.
🍛 Rawon: Warna Hitam,
Rasa Dalam
Rawon dikenal dengan warna kuahnya yang gelap, berasal dari
kluwek. Namun, bukan hanya warna yang unik — Rawon adalah rasa nostalgia yang
disajikan hangat. Daging sapi empuk, aroma rempah, dan sambal khas menjadi
elemen wajib.
Rawon kerap disajikan dalam hajatan atau upacara adat. Dalam
budaya Jawa Timur, makanan berwarna gelap seperti Rawon dipercaya sebagai
simbol kehangatan dan kekuatan.
Pengalaman penulis: Saya mencicipi Rawon legendaris
di Warung Mbak Soem di Probolinggo, di mana kluweknya difermentasi sendiri dan
diracik oleh generasi ketiga.
🌱 Pecel: Kesederhanaan
yang Mengakar
Tak lengkap membahas kuliner Jawa Timur tanpa menyebut
Pecel. Daun kenikir, bayam, dan kacang panjang disiram bumbu kacang legit.
Simpel, tapi kaya rasa dan makna.
Pecel biasanya disajikan saat panen raya atau hajatan desa.
Bagi masyarakat agraris, ini adalah bentuk syukur atas hasil bumi. Bahkan, di
beberapa desa, pecel menjadi menu wajib dalam slametan.
Catatan budaya: Di Blitar, ada tradisi menyajikan
Pecel Pincuk dalam daun pisang sebagai simbol penghormatan terhadap bumi dan
lingkungan.
🐽 Rujak Cingur: Cita Rasa
yang Melekat di Lidah dan Budaya
Makanan ini unik: campuran buah, sayur, lontong, dan irisan
cingur (hidung sapi), disiram sambal petis hitam. Di Surabaya, Rujak Cingur
bukan hanya kuliner — tapi ikon budaya.
Petis yang digunakan biasanya buatan sendiri dan jadi
penentu kualitas rasa. Cita rasanya kompleks: asin, manis, asam, gurih, pedas —
semuanya dalam satu gigitan.
Testimoni warga lokal: “Kalau ke Surabaya belum makan
Rujak Cingur, artinya belum benar-benar ke Surabaya,” ujar Bu Murni, pemilik
warung legendaris di Jalan Genteng.
🧂 Lontong Kupang: Khas
Pantura yang Tak Biasa
Kupang adalah sejenis kerang kecil yang hanya bisa ditemukan
di pesisir Sidoarjo dan sekitarnya. Disajikan dengan lontong, lentho (gorengan
singkong), dan siraman kuah bawang putih, makanan ini kaya protein dan rasa.
Lontong Kupang erat kaitannya dengan budaya nelayan.
Biasanya disantap saat pagi setelah pulang melaut.
Pengalaman langsung: Saya menyantap Lontong Kupang di
Warung Pak Slamet di Kenjeran — kupangnya masih segar, dengan kuah bawang yang
nendang!
![]() |
Kuliner |
🐟 Sego Tempong: Rasa
Pedas yang Menghentak
Dari ujung timur Pulau Jawa, tepatnya Banyuwangi, muncul
Sego Tempong. “Tempong” dalam bahasa Osing berarti “tamparan,” sesuai rasa
sambalnya yang pedas luar biasa.
Disajikan dengan nasi putih, sayuran rebus, tempe, dan ikan
asin, sambal tempong menjadi pusat perhatian. Konon, sambal ini dulunya
digunakan untuk menjaga stamina petani saat bekerja di sawah.
Insight lokal: Warung Sego Tempong Mbok Wah selalu
ramai saat musim panen — dipercaya bisa mengembalikan tenaga karena pedasnya
menggugah.
🍗 Ayam Lodho: Sajian
Sakral Khas Tulungagung
Ayam Lodho dimasak dengan cara dibakar lalu dimasak kuah
santan kental berbumbu kuat. Di Tulungagung dan Trenggalek, makanan ini biasa
disajikan saat momen adat penting seperti tingkeban atau syukuran desa.
Cerita warga: “Kami percaya Ayam Lodho membawa
keberkahan, karena dimasak dengan niat syukur,” kata Pak Darto, tokoh adat
setempat.
🎎 Filosofi Kuliner Adat:
Makan dengan Rasa Syukur
Ciri khas kuliner adat Jawa Timur bukan hanya pada rasa,
tapi juga pada filosofi dan nilai gotong royong. Banyak dari makanan ini
disiapkan bersama dalam kegiatan komunitas — dari menyiapkan bahan, memasak,
hingga menyantap bersama.
Dalam budaya Jawa, makanan adalah bentuk komunikasi. Ia
menyampaikan syukur, permohonan, bahkan penghiburan. Maka itu, kuliner adat
bukan sekadar makanan, tapi bagian dari perjalanan spiritual dan sosial.
![]() |
Kuliner |
🌾 Pelestarian Kuliner
Adat: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Di tengah maraknya kuliner modern dan makanan cepat saji,
kuliner adat berisiko terpinggirkan. Namun sebagai generasi muda, kita bisa
menjaga eksistensinya melalui:
- Mencari
dan menyantap kuliner khas saat traveling ke Jawa Timur.
- Menulis
dan mendokumentasikan kisah di balik tiap makanan.
- Mendukung
UMKM dan warung tradisional.
- Mempelajari
resep dan memasaknya di rumah.
Kuliner adat Jawa Timur bukan hanya warisan, tapi juga
identitas. Lewat rasa, kita bisa menyelami sejarah, budaya, dan kearifan lokal.
Mari jaga agar setiap suapan tetap menyampaikan kisah dan makna, dari generasi
ke generasi.