Malam, Sate, dan Cerita Ponorogo: Jejak Rasa dari Timur Jawa
Saya mencicipinya di Warung Sate H. Tukri Sobikun yang terletak di Jalan Lawu. Saat datang malam-malam, antrean sudah mengular. “Kalau malam Minggu bisa nunggu satu jam, Mas,” kata seorang pelanggan yang sudah langganan dari era 90-an. Saat sate itu tiba, aromanya mengingatkan pada asap kayu dan kecap yang menyatu. Rasanya bukan sekadar sate—ini adalah sejarah yang terbakar di atas arang.
![]() |
kuliner |
🥘 Mie Pentil dan Kejutan
di Balik Kesederhanaan
Bergeser dari sate, kuliner khas lainnya yang tak boleh
dilewatkan adalah Mie Pentil. Namanya mungkin terdengar unik, tapi ini
adalah sajian yang sederhana dan menggoda. Terbuat dari tepung tapioka yang
dimasak dengan bumbu merah khas, rasanya pedas dan gurih.
Saya menemukannya di Pasar Legi saat pagi hari. Dijual di gerobak kecil oleh ibu-ibu dengan tampah, seporsinya hanya Rp5.000. Banyak anak-anak sekolah dan pekerja yang membeli sebagai sarapan. Tak ada kemewahan, hanya kejujuran rasa. Dan justru di situlah kekuatannya.
![]() |
kuliner |
🍚 Sego Gegok: Nasi Sambal
Terbungkus Daun
Di salah satu sudut Kecamatan Slahung, saya menemukan
kuliner khas lain: Sego Gegok. Ini adalah nasi yang dibungkus daun
pisang, dengan isi sambal teri pedas. Proses pembuatannya mirip dengan nasi
bakar, tapi lebih pedas dan lebih tradisional.
Warung sederhana di pinggir jalan itu menyajikan sego gegok hangat langsung dari kukusan bambu. Saat dibuka, aroma daun pisang dan sambal menyengat tajam. Sensasi pedasnya bisa membuat peluh keluar di pagi hari, tapi itulah yang dicari. Apalagi disajikan dengan teh tubruk panas. Nikmat dan membumi.
![]() |
kuliner |
🧁 Dawet Jabung: Segarnya
Manis Tradisi
Siang hari yang terik di Ponorogo akan lebih sempurna jika
ditutup dengan Dawet Jabung. Minuman ini berasal dari Desa Jabung, yang
terkenal dengan dawet dari santan, gula merah, dan cendol kenyal buatan tangan.
Saya mampir ke salah satu penjual di tepi jalan menuju
Telaga Ngebel. Yang membuatnya berbeda adalah penggunaan gula aren asli dan
santan segar yang tidak terlalu manis, pas untuk menyejukkan tenggorokan. “Kami
tidak pakai pemanis buatan,” ujar Bu Sarti, penjual yang sudah 20 tahun
berjualan dawet. Dan benar saja, rasanya alami dan menyegarkan.
🌃 Kuliner Malam yang Buka
Hingga Subuh
Bagi pecinta malam, Ponorogo juga punya sederet kuliner yang tetap
hidup saat kota mulai sepi. Salah satu favorit saya adalah Nasi Pecel Mbak
Noer yang buka dari jam 9 malam hingga subuh. Pecelnya sederhana, tapi
sambalnya ‘nendang’.
Tepat di seberang alun-alun kota, kamu juga bisa menemukan
penjual Tahu Campur yang ramai dikerubungi pengunjung. Aroma petis dan
kerupuk bawang menyatu, membuat siapa pun sulit menolak untuk mampir. Uniknya,
banyak pelancong luar kota yang memilih istirahat di Ponorogo hanya demi makan
malam di sini.
📍 Panduan Lokasi Kuliner
Wajib Ponorogo
Tempat |
Menu Unggulan |
Jam Buka |
Sate Ayam H. Tukri |
Sate Ponorogo |
17.00 - 23.00 |
Pasar Legi |
Mie Pentil |
05.00 - 10.00 |
Warung Gegok Slahung |
Sego Gegok |
06.00 - 11.00 |
Dawet Jabung Bu Sarti |
Dawet Santan |
09.00 - 16.00 |
Nasi Pecel Mbak Noer |
Pecel Malam |
21.00 - 04.00 |
🗣️ Suara dari Pengunjung
"Saya dari Jakarta, tiap pulang ke Madiun pasti
mampir ke sate Ponorogo. Rasanya khas, dagingnya tebal, beda sama sate
lainnya."
— Roni, 38 tahun
"Kalau ke Telaga Ngebel, wajib berhenti beli dawet
Jabung. Seger banget. Udah kayak ritual tiap tahun!"
— Nia, 27 tahun
📌 Kenapa Ponorogo Layak
Jadi Tujuan Kuliner?
Ponorogo bukan sekadar kota Reog. Ia adalah kota rasa, kota
di mana setiap sudut punya cerita lewat makanan. Dari pedasnya sego gegok,
manisnya dawet, hingga gurihnya sate yang menggoda, semua menyatu dalam satu
pengalaman makan yang tak terlupakan.
Jika kamu mencari kuliner yang bukan sekadar perut kenyang, tapi juga
hati yang terisi, Ponorogo adalah jawabannya.