Menjelajahi Cita Rasa Lintas Zaman: Petualangan Kuliner Adat Jawa Timur yang Tak Terlupakan
Saya sendiri—seorang penikmat kuliner dan pengelana lokal—memulai perjalanan ini dari Pasuruan hingga Banyuwangi, mencicipi berbagai hidangan tradisional yang tidak hanya menggoyang lidah, tapi juga membuka mata saya tentang bagaimana makanan bisa menjadi warisan yang hidup.
![]() |
Kuliner |
1. Rawon Surabaya: Hitamnya Menggugah, Rasanya Membekas
Perjalanan saya dimulai di jantung kota Surabaya. Di sebuah
warung tua dekat Tugu Pahlawan, saya mencicipi rawon dengan kuah hitam pekat,
aroma kluwek yang menguar, serta potongan daging empuk yang seolah meleleh di
mulut.
Ibu pemilik warung bercerita bahwa resep rawon ini sudah
diwariskan turun-temurun sejak zaman kolonial. "Kuncinya di kluwek, tapi
juga sabar waktu merebus daging. Dulu nenek saya bikin rawon ini pas upacara
adat atau selamatan," ujarnya sambil menyajikan sambal tauge dan telur
asin sebagai pelengkap.
Dari cerita itu saya belajar: rawon bukan sekadar makanan,
tapi simbol perayaan dan persaudaraan masyarakat Jawa Timur.
2. Pecel Madiun: Kesederhanaan yang Menyatukan Semua
Di Madiun, saya mencoba pecel yang disajikan langsung oleh
seorang ibu di depan rumahnya. Tidak ada papan nama, hanya meja kecil dengan
tampah berisi aneka sayuran rebus, nasi hangat, rempeyek, dan sambal kacang
yang luar biasa wangi.
Yang membuat saya terkesan bukan hanya rasa sambalnya yang
kaya dan sedikit pedas, tapi juga fakta bahwa pecel adalah makanan yang bisa
ditemukan di segala lapisan masyarakat—dari tukang becak hingga pejabat daerah.
"Kalau pagi-pagi makan pecel, seperti disatukan dengan semua orang di kota ini," kata seorang bapak yang duduk di samping saya. Itu pengalaman rasa sekaligus pengalaman sosial yang sulit dilupakan.
3. Rujak Cingur: Kekuatan Tradisi dalam Satu Piring
Melanjutkan perjalanan ke Sidoarjo, saya tidak bisa
melewatkan Rujak Cingur. Makanan ini selalu membuat banyak orang luar daerah
‘angkat alis’ karena keberadaan irisan hidung sapi yang dicampur dalam rujak
buah dan sayur.
Saya akui, pertama mencobanya butuh keberanian. Tapi justru
di situ saya merasakan bahwa kuliner adat Jawa Timur tidak malu menunjukkan
identitasnya yang kuat dan berani. Rujak cingur adalah makanan yang tidak
kompromi. Entah kamu suka atau tidak, ia tetap setia pada akarnya.
Penjual rujak yang saya temui di alun-alun Sidoarjo mengatakan, "Rujak cingur itu lambang keberanian dan kejujuran rasa. Kalau kamu bisa makan ini, berarti kamu bagian dari budaya kami."
![]() |
Kuliner |
4. Lontong Kupang: Kejutan dari Laut di Tiap Suapan
Tak banyak yang tahu tentang kupang, sejenis kerang kecil
yang hanya ditemukan di pesisir Jawa Timur seperti Kenjeran dan Pasuruan. Saya
mencicipi lontong kupang di warung kaki lima saat matahari hampir tenggelam.
Rasanya unik, agak asin dan gurih, berpadu dengan petis dan perasan jeruk nipis. Suapan pertama mungkin agak aneh, tapi setelah dua kali, saya justru ketagihan. Yang membuat saya terharu adalah fakta bahwa bahan utama makanan ini bergantung pada musim dan kondisi laut. Artinya, lontong kupang juga menyimpan kisah ketahanan hidup para nelayan pesisir.
5. Tempe Mendol dan Nasi Empok: Warisan Pedesaan yang
Dirindukan
Di daerah Batu dan Malang, saya mencicipi nasi empok—nasi
jagung dengan lauk tempe mendol dan sayur lodeh. Menu ini dulunya dianggap
makanan orang miskin, tapi kini menjadi kebanggaan masyarakat lokal.
Rasa tempe mendol yang gurih dan agak pedas berpadu sempurna dengan nasi empok yang punya tekstur kasar tapi mengenyangkan. Saat makan di warung pinggir sawah, saya merasa seperti sedang ‘disapa’ oleh masa lalu. Kuliner ini bukan hanya mengisi perut, tapi juga menumbuhkan rasa syukur.
6. Dari Dapur ke Upacara: Fungsi Sosial Kuliner Adat Jawa
Timur
Hal yang membuat saya kagum dari kuliner adat Jawa Timur
adalah fungsinya dalam kehidupan sosial dan upacara adat. Makanan seperti
tumpeng, jenang abang putih, dan apem tidak hanya disantap, tapi juga digunakan
dalam ritual selamatan, weton, bahkan syukuran rumah.
Beberapa kali saya diundang dalam acara warga saat berada di Ponorogo, di mana tumpeng menjadi pusat acara. Saya melihat sendiri bagaimana makanan menyatukan keluarga dan tetangga, menciptakan suasana yang hangat dan penuh makna.
7. Kenapa Kuliner Adat Tak Boleh Sekadar Dinikmati, Tapi
Juga Dilestarikan
Saya menyadari satu hal penting setelah perjalanan ini:
kuliner adat tidak boleh sekadar menjadi tren konten media sosial. Ia perlu
dipahami sebagai bagian dari jati diri daerah. Banyak generasi muda sekarang
lebih mengenal ramen atau pizza, tapi belum tentu tahu apa itu sego tempong
atau botok tempe.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk tidak hanya mencicipi, tapi juga merawat warisan ini. Berkunjunglah ke pasar tradisional, jajanlah di warung sederhana, dan tanyalah kisah di balik tiap makanan. Di situlah kekayaan kuliner adat Jawa Timur benar-benar terasa utuh.
![]() |
Kuliner |
Perjalanan saya di Jawa Timur belum berakhir, dan daftar
makanan yang saya cicipi baru sebagian kecil dari kekayaan yang ada. Namun satu
hal pasti: setiap sendok kuliner adat Jawa Timur selalu menyimpan cerita, rasa,
dan nilai yang jauh lebih besar dari sekadar makanan.
Jika Anda ingin tahu lebih dalam tentang kuliner tradisional
lain dari berbagai daerah di Jawa Timur, silakan kunjungi kuliner adat Jawa Timur
untuk mengeksplorasi kelezatan yang tidak pernah habis untuk diceritakan.