Rasa-Rasa Ponorogo: Jejak Lezat dari Timur Jawa
Saya berkesempatan mengunjungi Ponorogo dalam sebuah perjalanan singkat—dan seperti biasa, misi utama saya adalah mencicipi rasa lokal. Artikel ini bukan hanya daftar makanan, tapi juga cerita rasa dari pinggir jalan, dari warung sederhana hingga kedai legendaris.
![]() |
kuliner |
🍢 Sate Ayam Ponorogo: Bukan Sate Biasa
Hampir semua orang tahu bahwa Ponorogo adalah rumahnya sate
ayam yang khas. Tapi pengalaman makan di Warung Sate Pak Tukri di dekat
Alun-Alun memberikan perspektif berbeda.
Saat saya duduk di bangku panjangnya, terdengar dentingan
arang dan suara sutil mengaduk bumbu kacang. Seporsi sate tersaji dengan irisan
lontong dan guyuran sambal kecap yang manis-pedas. Dagingnya besar, juicy, dan
dibumbui sejak mentah—sehingga rasanya meresap hingga ke serat daging.
Yang membuat sate Ponorogo istimewa adalah proses marinasi dan cara membakarnya yang lambat. Bukan cepat saji, tapi penuh cinta. Ini bukan hanya makanan, ini ritual.
![]() |
kuliner |
🌶️ Pecel Tumpang: Pedas
dan Berlapis Rasa
Di pagi hari, warga Ponorogo punya favorit tersendiri: pecel
tumpang. Bumbu kacang biasa dicampur dengan sambal tumpang berbahan tempe
semangit (fermentasi).
Saya mencicipinya di Warung Bu Setyo di Pasar Legi.
Sepiring nasi hangat, tauge, daun kenikir, dan siraman bumbu tumpang yang
kental menyambut pagi saya.
Rasa gurih-pedasnya begitu unik. Tekstur bumbu yang agak
kasar tapi kaya aroma fermentasi memberikan sensasi berbeda. Dan ternyata,
sambal tumpang ini adalah warisan leluhur warga Kediri-Ponorogo.
Sambil menyantap, ibu warung sempat berkata, “Kalau nggak pakai tumpang, ya bukan pecel Ponorogo namanya.”
![]() |
kuliner |
🍚 Nasi Tiwul dan Gendang:
Sisa Sejarah yang Bertahan
Tak lengkap bicara kuliner Ponorogo tanpa menyinggung
nasi tiwul—makanan khas dari singkong yang ditumbuk dan dikukus. Dulu,
makanan ini diasosiasikan dengan masa sulit, tapi kini jadi menu nostalgia.
Saya mencoba di daerah Sawoo, dari penjual yang hanya buka
pagi hari. Tiwul disajikan dengan sayur gendang (semacam lodeh lokal) dan
sambal terasi.
Rasanya sederhana, bahkan cenderung hambar di awal, tapi
setelah dipadukan dengan gendang dan lauk tempe garit, semua terasa harmonis.
Ini bukan soal rasa saja, tapi sejarah yang masih dimakan setiap hari oleh
masyarakat.
🍜 Mie Ayam Reog: Sentuhan
Modern di Tengah Tradisi
Meski Ponorogo dikenal akan makanannya yang tradisional, ada
beberapa inovasi modern yang patut dicoba. Salah satunya Mie Ayam Reog
yang dijual di sekitar Jalan Gajah Mada.
Mie ayam ini bukan sekadar mie instan ala warung, melainkan
mie buatan tangan dengan topping ayam manis, sayuran segar, dan sambal khusus.
Yang unik adalah penyajian di atas daun jati, lengkap dengan
kerupuk kampung dan es tape hijau. Rasanya membaur antara nostalgia dan kreasi.
🕯️ Kuliner Malam: Nasi
Kucing & Wedang Uwuh
Saat malam turun, suasana Ponorogo berubah sunyi—tapi justru
di saat inilah kuliner malam mulai hidup. Di sekitar Jalan Suromenggolo,
saya menemukan deretan angkringan yang menjual nasi kucing dan wedang uwuh.
Nasi kucing di sini lebih gurih, dengan sambal teri dan orek
tempe yang menggoda. Sementara wedang uwuh—minuman rempah hangat dengan warna
merah bata—menjadi penutup malam yang sempurna.
Duduk di atas tikar, dikelilingi lampu remang-remang, saya
merasa tidak sedang wisata, tapi pulang ke rumah.
💬 Obrolan dengan Warga:
Cerita di Balik Rasa
Salah satu pengalaman terbaik saya adalah ngobrol dengan Bu
Sri, penjual jajan pasar di Pasar Relokasi. Ia bercerita soal jenang
grendul, camilan manis dari tepung ketan dan gula merah.
“Ini makanan zaman simbah saya. Sekarang cuma disukai orang
tua, anak muda sudah lupa,” katanya.
Namun, saat saya mencicipi jenang buatannya, saya tahu
kenapa makanan ini layak hidup lebih lama. Rasa manisnya tidak lebay,
teksturnya lembut, dan kehangatan gula merahnya menenangkan.
🗺️ Panduan Rasa untuk
Wisatawan
Jenis Kuliner |
Tempat Rekomendasi |
Jam Buka |
Sate Ayam Ponorogo |
Warung Pak Tukri |
10.00 – 22.00 |
Pecel Tumpang |
Warung Bu Setyo |
06.00 – 11.00 |
Nasi Tiwul |
Sawoo (Pasar Pagi) |
05.30 – 09.00 |
Mie Ayam Reog |
Jl. Gajah Mada |
11.00 – 21.00 |
Angkringan Malam |
Jl. Suromenggolo |
19.00 – 00.00 |
🔗 Penutup: Jangan Sekadar
Lewat, Cicipilah Ponorogo
Berwisata ke Ponorogo bukan hanya soal melihat Reog atau
lewat dalam perjalanan mudik. Kota ini menyimpan kuliner yang tidak
hanya enak, tapi sarat nilai budaya, sejarah, dan kehangatan.
Masing-masing hidangan seolah bercerita: tentang keluarga,
tentang tradisi, dan tentang bagaimana makanan bisa menjadi bentuk cinta paling
sederhana.
Jadi, jika kamu sedang berada di Jawa Timur, jangan lupa
sempatkan satu hari saja untuk menyusuri rasa dari Ponorogo. Karena di balik
setiap gigitan, ada kisah yang mungkin akan terus kamu kenang.