Cita Rasa Tanah Jawa: Jelajah Rasa dari Dapur ke Hati
![]() |
| Kuliner Otentik |
1. Nasi Megono: Sederhana tapi Mengikat Rasa
Dari Pekalongan, nasi megono jadi lambang kehangatan. Nasi
hangat dengan irisan nangka muda yang dimasak dengan parutan kelapa dan rempah
ini, mungkin terlihat sederhana. Tapi jangan remehkan rasa gurih dan sensasi
pedas halus yang muncul setelah beberapa suapan.
Pengalaman saya menikmati nasi megono saat di daerah
Wiradesa sangat berkesan. Warung kecil pinggir jalan menyajikan nasi megono
dengan gorengan tempe mendoan panas. Harganya Rp7.000 saja, tapi memori rasanya
membekas seperti makanan hotel bintang lima. Ibu warung bahkan bercerita, “Ini
resep nenek saya, masaknya dari subuh.”
2. Rawon: Hitam Legam, Dalam dan Misterius
Siapa sangka kuah hitam dari keluak bisa begitu memikat?
Rawon bukan sekadar sup daging. Ia adalah manifestasi rasa dalam bentuk cair:
pekat, gurih, dan sedikit manis dari empal yang dimasak berjam-jam.
Saya pernah mencoba rawon di Surabaya yang disajikan bersama
telur asin dan sambal terasi. Setiap suap seperti membuka lapisan kenangan.
Kata pemilik warung, rahasia rawonnya ada di racikan bumbu yang digoreng dulu
sebelum dimasukkan ke kuah. Saya percaya, karena saya belum pernah merasakan
rawon sekompleks itu di tempat lain.
3. Pecel Lele Lamongan: Ketika Jalanan Menjadi Surga Rasa
Setiap malam di banyak kota besar, kita sering melihat tenda
berlampu redup bertuliskan “Pecel Lele Lamongan”. Lele goreng kriuk, sambal
pedas, nasi hangat, plus lalapan jadi kombinasi sederhana tapi ampuh.
Di Gresik, saya pernah duduk di warung lele pinggir jalan. Di tengah hembusan angin malam dan suara motor lewat, saya menyantap lele goreng yang baru diangkat dari minyak. Sambalnya? Dibuat dadakan. Lele digeprek, sambal diuleg, dan rasanya... luar biasa. Itu momen kulineran Jawa yang tak bisa digantikan restoran mewah.
![]() |
| Kuliner Otentik |
4. Tahu Petis Semarang: Kecil-Kecil Cabe Rawit
Petis adalah kunci dari rasa legit tahu goreng khas Semarang
ini. Teksturnya lembut, bagian dalam tahu kopong diisi dengan petis yang manis,
sedikit asin, dan pekat aroma udangnya.
Saya pernah singgah di warung tua di daerah Mataram
Semarang. Seorang nenek menjajakan tahu petis sejak tahun 1983. Rasanya
klasik—tidak neko-neko. Saya sempat bertanya, “Masih bikin sendiri, Bu?” dan
dijawab dengan bangga, “Saya masih bikin petisnya sendiri tiap pagi. Kalau
beli, rasanya beda.”
5. Sate Klathak Jogja: Minimalis, Maksimal di Lidah
Sate Klathak mungkin terlihat biasa: hanya tusukan daging
kambing muda dibumbui garam dan merica. Tapi cara memasaknya di atas jeruji
sepeda dan api besar membuat dagingnya matang merata dengan aroma smokey.
Saya ingat sekali waktu mampir ke Jejeran, Bantul, tempat
asal sate Klathak. Meja panjang, suasana ramai, dan sate yang datang panas
mengepul. Disajikan dengan kuah gulai ringan yang gurih, perpaduan ini bikin
saya ingin tambah lagi dan lagi.
6. Rujak Cingur Surabaya: Paduan Ekstrem Tapi Nagih
Rujak cingur adalah perpaduan unik antara sayur-sayuran,
tahu, tempe, buah segar, dan potongan cingur (hidung sapi) yang dilumuri bumbu
kacang petis. Rasanya manis, asin, pedas, dan sedikit asam.
Saat pertama kali mencicipinya di Pasar Genteng, saya sempat
ragu. Tapi pemilik warung menyemangati, “Cingurnya masih segar, Mas. Kami
potong pagi ini.” Setelah suapan pertama, saya mengerti kenapa ini jadi
kebanggaan kuliner Surabaya. Kombinasi tekstur dan rasa yang bertabrakan justru
menjadi harmonis.
7. Gudeg Jogja: Manis yang Merangkul
Gudeg mungkin jadi makanan paling ikonik dari Yogyakarta.
Terbuat dari nangka muda yang dimasak lama dengan gula jawa dan santan, gudeg
menghadirkan rasa manis yang merangkul lidah, bukan menusuk.
Saya pernah mencicipi gudeg pawon, yang hanya buka mulai tengah malam. Orang antre panjang demi satu piring nasi, gudeg, sambal krecek, dan ayam kampung suwir. Tidak ada tempat duduk resmi, hanya tikar di depan pawon (dapur tradisional). Tapi di situlah kenikmatannya—rasa otentik dan pengalaman tak terlupakan.
![]() |
| Kuliner Otentik |
8. Tempe Mendol Malang: Cita Rasa Fermentasi yang Unik
Tempe mendol adalah tempe yang difermentasi lebih lanjut,
dihancurkan, lalu dibumbui dan digoreng. Rasanya gurih, sedikit asam, dan
sangat cocok sebagai lauk atau camilan.
Saya menyantapnya saat berkunjung ke Pasar Oro-Oro Dowo di
Malang. Seorang ibu menyodorkan mendol hangat yang baru diangkat dari wajan.
“Mau coba, Mas? Ini bikin sendiri,” katanya sambil tersenyum. Setelah gigitan
pertama, saya langsung beli tiga bungkus. Itulah kekuatan kulineran Jawa—mengikat
lidah dan hati dalam satu gigitan.
9. Sate Ambal Kebumen: Bumbu Tempe yang Bikin Penasaran
Berbeda dari sate lainnya, sate Ambal menggunakan bumbu
tempe fermentasi yang dihaluskan dan dicampur rempah. Rasanya legit, pekat, dan
sangat khas.
Saat mampir ke daerah Ambal, saya bertanya kepada penjual,
“Kenapa pakai tempe, bukan kacang?” Ia menjawab, “Supaya beda dan makin khas.
Ini resep turun-temurun.” Dan benar, rasanya tidak bisa dibandingkan dengan
sate manapun—unik dan berkarakter.
10. Es Dawet Ireng Purworejo: Kesegaran di Tengah Terik
Dawet ireng adalah minuman khas dari Purworejo dengan cendol
hitam, santan, dan gula aren cair. Sangat cocok untuk menyegarkan badan di
tengah cuaca panas.
Saya menikmatinya di pinggir jalan, duduk di kursi plastik.
Tapi rasanya... sekelas kafe premium. Manisnya gula aren asli dan segarnya
santan dingin bikin lelah perjalanan seolah hilang seketika.


