Jejak Rasa Jawa Timuran: Cerita di Balik Setiap Suapan
1. Jejak Pertama: Mengapa Kuliner Jawa Timuran Begitu
Berkesan?
Jika kamu pernah mencicipi rawon yang hitam pekat atau tahu
tek dengan petis yang menggigit, kamu sedang menjelajahi kuliner Jawa
Timuran—salah satu warisan rasa paling otentik di nusantara. Bukan hanya karena
bumbunya yang kuat, tapi juga karena setiap hidangan menyimpan cerita panjang:
tentang warung yang diwariskan tiga generasi, atau tentang penjual keliling
yang sudah 20 tahun mengayuh gerobaknya di tengah kota.
➡️ (Internal link: kata kuliner mengarah ke Kulinerjawa.com)
![]() |
Kuliner Daerah |
2. Rawon: Bukan Sekadar Sup Daging, Tapi Aroma Nostalgia
Rawon bukan cuma makanan. Bagi banyak orang Jawa Timur,
rawon adalah pengingat masa kecil, pesta keluarga, atau momen sarapan bersama
ayah di warung dekat pasar.
“Waktu kecil, setiap Minggu pagi Bapak selalu mengajak saya
makan rawon di Warung Bu Tin di Mojokerto. Kuahnya pekat, dagingnya empuk, dan
selalu disajikan dengan sambal terasi yang pedasnya nampol,” ujar Diah,
pengunjung tetap warung legendaris itu.
Keunikan rawon ada pada kluwek, buah yang
difermentasi dan memberi warna gelap serta aroma khas. Tak semua orang bisa
memasak rawon yang benar, karena butuh insting rasa dan takaran pas.
3. Lontong Balap & Tahu Campur: Harmoni Rasa Kaki
Lima
Siapa sangka sepiring lontong dengan tahu, lentho, dan
sambal petis bisa membuat banyak orang jatuh cinta? Lontong balap asal Surabaya
ini adalah makanan cepat saji sebelum istilah itu booming.
Pengalaman saya di Lontong Balap Pak Gendut di Wonokromo
cukup berkesan. Di jam makan siang, antreannya bisa 20 orang. Tapi menurut
saya, tungguannya sepadan.
“Yang bikin beda itu lenthonya. Digoreng kering, tapi
dalamnya empuk. Kuah petisnya juga nggak amis. Saya langganan sejak kuliah
tahun 2005,” kata Pak Bambang, pelanggan tetap yang saya temui di meja sebelah.
Begitu pula dengan tahu campur Lamongan yang disajikan
dengan kuah kaldu sapi, daging empuk, dan mie kuning. Rasa rempahnya sangat
khas, dan ada elemen “ngagetin” saat pertama kali mencoba.
4. Nasi Cumi Pasar Atom: Kejutan Hitam yang Gurih
Kalau kamu mengira cumi hanya cocok untuk menu seafood
modern, kamu belum mencicipi Nasi Cumi khas Surabaya. Seporsinya sederhana:
nasi, cumi hitam, sambal, dan peyek. Tapi rasanya? Luar biasa kaya.
Saat berkunjung ke Pasar Atom, saya langsung tergoda antre
karena aromanya menggoda. Penjualnya, Bu Ratna, menyambut saya dengan senyum
dan cerita singkat soal resep warisan dari ibunya.
“Dulu ibu saya berjualan di Kya-Kya sebelum pindah ke sini.
Orang-orang suka karena kami nggak pelit bumbu. Semua dimasak dari jam 3 pagi,”
katanya.
Makan di sana terasa seperti masuk ke lorong waktu—kita bukan hanya mencicipi makanan, tapi juga menyerap sejarah keluarga dan budaya.
![]() |
Kuliner Daerah |
5. Rujak Cingur: Ketika Petis Menjadi Raja
Bagi yang baru kenal, rujak cingur bisa jadi “culture
shock”. Bayangkan potongan mulut sapi (cingur), buah segar, tahu, dan lontong
disiram saus petis yang kental.
Tapi di sinilah daya tariknya: perpaduan ekstrem yang
ternyata menyatu luar biasa. Di Warung Rujak Cingur Bu Kaji di Gresik, saya
melihat sendiri bagaimana pelanggan dari luar kota berani menempuh jarak jauh
hanya untuk satu porsi.
“Saya dari Jakarta, tiap pulang kampung pasti mampir sini.
Rasanya nggak ada yang bisa nyamain,” ujar Bu Sinta, pelanggan setia sejak
2010.
6. Tempe Penyet, Ayam Lodho, dan Pecel Madiun: Simpel
Tapi Nendang
Tak semua kuliner Jawa Timuran heboh. Ada juga yang sederhana
namun mengena. Seperti tempe penyet dengan sambal tomat yang pedasnya
menampar, atau ayam lodho khas Tulungagung yang dimasak santan hingga empuk dan
meresap.
Pecel Madiun juga jangan dilupakan. Bumbunya halus, agak
manis, dan sering dilengkapi rempeyek kacang. Penjual di depan Stasiun Madiun
bahkan mengaku bisa menjual 150 bungkus dalam sehari.
“Rahasia saya cuma satu: jangan pelit kacang. Dan bumbu harus diulek, bukan diblender,” katanya.
![]() |
Kuliner Daerah |
7. Kulineran di Jawa Timur: Lebih dari Sekadar Makan
Jawa Timur mengajarkan satu hal: makan bukan sekadar
kebutuhan, tapi pengalaman budaya. Dari jalanan Surabaya sampai desa di
Banyuwangi, dari warung kaki lima hingga rumah makan legendaris—selalu ada
cerita dalam setiap suapan.
Pengalaman yang autentik, interaksi dengan penjual, dan rasa
yang jujur adalah daya tarik utama. Bukan restoran mahal, tapi kehangatan
dan keaslian yang membuat orang selalu ingin kembali.