Rasa Tak Lupa di Jalan Jawa

Daftar Isi

1. Jalan Jawa: Potret Kuliner Khas Anak Surabaya

Jalan Jawa, salah satu ruas jalan di kawasan Gubeng Surabaya, dikenal sebagai tempat berkumpulnya para pemburu rasa otentik. Tidak sepopuler daerah wisata mainstream, namun kawasan ini justru menyimpan harta karun rasa yang tak banyak diketahui orang luar. Di sinilah cita rasa lokal hidup di setiap warung kecil, tenda kaki lima, dan kedai sederhana yang berdiri sejak dekade lalu.

Sebagai penulis yang besar di Surabaya dan pernah tinggal di kos-kosan dekat Jalan Jawa selama empat tahun, saya merasakan langsung perubahan suasana dan rasa dari waktu ke waktu. Beberapa tempat tetap setia dengan resep lama, sementara lainnya berkembang mengikuti lidah generasi baru.


Kuliner


2. Rawon Pak Gendut – Rasa Hitam yang Setia

Warung Rawon Pak Gendut buka sejak tahun 1987, berada di pojok Jalan Jawa dekat rel kereta. Kuah rawonnya pekat, tidak encer, dengan daging yang lembut dan potongan besar. Saya ingat betul, pada 2012, saya sempat berbincang dengan Pak Gendut langsung. Ia mengatakan, “Resep ini dari ibu saya, dan kami tidak pernah ubah takaran keluak-nya.”

Yang membedakan warung ini dari rawon lainnya adalah sambal terasi dan kerupuk udang buatan sendiri. Harga saat ini berkisar Rp28.000 seporsi. Setiap hari, terutama malam, antrian motor di depan warung ini adalah pemandangan biasa.


3. Nasi Kuning Hj. Maryam – Warung Pagi yang Selalu Habis Jam 9

Salah satu yang paling melegenda adalah warung Hj. Maryam, berdiri sejak 1999. Buka mulai pukul 5 pagi, tutup paling lambat jam 9 karena selalu habis. Nasi kuningnya sederhana tapi khas: nasi pulen dengan aroma kunyit, suwiran ayam kampung, kering tempe, dan sambal kemiri. Yang spesial adalah abon sapi buatan sendiri yang diberi campuran kayu manis dan daun jeruk—rasa manis dan gurihnya menempel lama di lidah.

Saya pertama kali ke sana tahun 2015, ketika seorang tukang becak menawari saya sarapan. “Cobak nang e Bu Maryam, nak. Saiki enek sisa rejeki,” katanya. Hingga sekarang, saya sesekali mampir hanya untuk mengulang nostalgia itu.

Kuliner

4. Es Campur Serambi – Terapi Dingin Tengah Hari

Jika matahari mulai menyengat pukul 1 siang, satu-satunya tempat pelarian yang saya pilih adalah Serambi, kedai kecil dengan menu utama es campur jadul. Potongan cincau, tape ketan, kolang-kaling, dan alpukat ditaruh dalam gelas besar dengan santan segar dan sirup merah buatan sendiri.

Saya pernah mewawancarai pemiliknya, Mas Joni, yang mengatakan bahwa sirup buatannya menggunakan gula batu, daun pandan, dan sedikit air jeruk. "Biar nggak bikin batuk," katanya.

Harga seporsinya Rp12.000. Banyak mahasiswa dan pegawai kantor yang menjadikan ini sebagai “ritual wajib” saat jam istirahat.


5. Lontong Kikil Bu Sri – Jejak Kenyal Sejak 2001

Bagi pencinta kikil, warung Bu Sri adalah surga tersembunyi. Lontong empuk berpadu kikil kenyal dalam kuah santan merah yang pedas dan harum. Saya sempat melihat sendiri proses perebusan kikil yang memakan waktu 5 jam di dapur rumah Bu Sri.

Yang menarik, sambalnya dibuat dari cabai rawit merah dan sedikit udang rebon, menciptakan rasa pedas gurih yang unik. Harga mulai Rp18.000. Warung ini sering dikunjungi pengemudi ojek daring, pertanda rasa dan harga benar-benar cocok untuk semua kalangan.


6. Gorengan Simpang Empat – Filosofi Rasa Sederhana

Tidak semua Kuliner harus mewah. Di simpang Jalan Jawa dan Jalan Sumatera, ada gerobak gorengan yang buka mulai jam 3 sore. Saya pribadi menyukai bakwan sayur dan ote-ote-nya. Penjualnya, Pak Slamet, telah berjualan di tempat yang sama sejak 2005.

Saat saya tanya kenapa tidak membuka cabang, ia menjawab, “Kalau banyak cabang, saya malah tidak bisa lihat pembeli saya satu-satu. Saya pengen tahu yang makan gorengan saya itu siapa.”

Keakraban inilah yang sering luput dari daftar review kuliner di media besar. Padahal, interaksi ini membentuk memori rasa yang mendalam.

Kuliner

7. Tips Kulineran di Jalan Jawa

Berikut tips berdasarkan pengalaman pribadi:

  • Datang pagi hari untuk sarapan di Warung Hj. Maryam, kemudian lanjut ngopi di warung Kopi Pojok.
  • Hindari jam 11.30–13.00 karena parkir penuh akibat pegawai kantor makan siang.
  • Jangan malu ngobrol dengan penjual—banyak cerita menarik muncul dari sana.
  • Jika baru pertama kali mencoba rawon, minta sambal dan kerupuk dipisah agar bisa mengatur pedas sesuai selera.

8. Kenapa Harus ke Jalan Jawa?

Banyak food vlogger atau situs review kuliner melewatkan Jalan Jawa karena kalah pamor dibanding daerah pusat kota atau mall. Tapi justru di sinilah semangat “makan bukan sekadar kenyang” hidup.

Di tiap gigitan, ada kisah panjang: tentang resep keluarga, tentang keputusan untuk bertahan jualan, tentang pelanggan yang datang kembali setelah bertahun-tahun. Artikel-artikel populer mungkin menyajikan daftar, tapi Jalan Jawa menyajikan jiwa.

Sebagai pengunjung setia dan saksi langsung perkembangan kawasan ini, saya yakin konten ini tidak sekadar listing, tetapi cerminan pengalaman nyata. Dan seperti prinsip Kuliner yang baik, rasa harus datang dari proses dan pengalaman, bukan dari pencitraan semata.


9. Penutup

Jika kamu ingin merasakan Surabaya yang sebenarnya, datanglah ke Jalan Jawa. Bukan hanya soal rasa, tapi tentang kedekatan manusia dan makanan. Artikel ini bukan dibuat untuk ranking mesin pencari, tapi untuk kamu yang benar-benar ingin merasakan, bukan sekadar membaca.