Jejak Rasa Masa Lalu: Menghidupkan Kembali 7 Kuliner Jawa Kuno yang Hampir Terlupakan

Daftar Isi
Kulinerjawa.com - Dalam riuhnya tren makanan modern, kita kadang melupakan akar kuliner yang membentuk identitas budaya. Lewat artikel ini, mari kita menelusuri kembali kuliner Jawa kuno—hidangan-hidangan yang berasal dari masa kerajaan Hindu-Buddha dan Mataram Islam, yang hingga kini masih menyimpan jejak sejarah, filosofi, dan rasa yang unik. Beberapa makanan bahkan hanya disajikan pada upacara tertentu, menjadikannya bagian dari warisan tak benda yang layak dilestarikan.

Sumber-sumber sejarah seperti Serat Centhini, prasasti kuno, serta tradisi lisan dari keraton menjadi pijakan dalam menghidupkan kembali resep-resep klasik ini.

 

Kuliner Khas 



1. Grontol: Cita Rasa Rakyat Zaman Majapahit

Grontol adalah kudapan sederhana dari jagung pipil rebus yang dicampur kelapa parut dan sedikit garam. Makanan ini dipercaya sudah ada sejak zaman Majapahit sebagai alternatif pangan rakyat saat beras langka.

Resep tradisional Grontol:

  • Jagung pipil tua (rebus hingga mekar dan empuk)
  • Kelapa parut muda
  • Garam secukupnya

Proses memasak dilakukan dengan panci tanah liat dan tungku api, menciptakan aroma asap yang khas. Grontol dulu disajikan saat perayaan hasil panen dan masih populer di desa-desa Jawa Tengah.

 

2. Jadah Abang: Makanan Kuno untuk Persembahan

Jadah abang adalah penganan dari ketan merah yang dikukus dan diberi parutan kelapa, biasa dijadikan sesaji dalam upacara adat. Makanan ini melambangkan ketulusan dan kesetiaan.

Filosofi jadah abang sering dikaitkan dengan warna merah sebagai simbol pengorbanan. Dalam budaya Jawa, makanan ini hanya dimasak oleh tangan orang tua atau tetua adat yang dianggap "bersih secara batin".

 

Kuliner Khas 

3. Sego Abang Gunungkidul: Warisan Pertanian Kering

Sego abang (nasi merah) berasal dari daerah tandus Gunungkidul, tempat beras merah lebih mudah tumbuh dibanding padi sawah. Dahulu, ini menjadi makanan sehari-hari masyarakat pedesaan.

Penyajian klasik Sego Abang:

  • Nasi merah
  • Sayur lombok ijo (dari daun singkong)
  • Tempe gembus goreng
  • Sambal bawang dan urap kelapa

Hidangan ini menampilkan keseimbangan gizi ala leluhur, jauh sebelum istilah “real food” populer di era modern.

 

4. Bubur Sumsum: Simbol Kesucian dan Keseimbangan

Bubur sumsum berasal dari zaman kerajaan Mataram Islam dan biasanya disajikan dalam ritual mitoni (tujuh bulanan). Bubur berwarna putih ini melambangkan kesucian dan doa keselamatan bagi calon bayi.

Resep Bubur Sumsum Kuno:

  • Tepung beras yang ditumbuk manual
  • Santan segar dari kelapa perasan pertama
  • Sedikit garam untuk menyeimbangkan rasa

Gula merah cair dituangkan di atasnya sebagai pelengkap. Proses memasak harus dilakukan dengan tenang dan penuh niat baik, sesuai kepercayaan leluhur.

 

Kuliner Khas 

5. Brenebon Jawa: Sup Kacang Merah dari Peranakan Belanda-Jawa

Meski berasal dari pengaruh Belanda, versi brenebon Jawa memiliki kekhasan lokal. Daging sapi diganti dengan kikil atau tetelan, dan bumbunya memakai lengkuas, daun salam, serta serai.

Diperkenalkan sejak masa kolonial, makanan ini adalah contoh akulturasi budaya dan kuliner Jawa yang adaptif namun tetap mempertahankan identitas rasa.

 

6. Rujak Sentheng: Kuliner Khusus untuk Ritual Panen

Rujak sentheng disajikan hanya pada tradisi wiwitan (upacara awal panen). Terbuat dari campuran buah lokal seperti jambu klutuk, pisang batu, dan mangga muda yang dicacah, lalu dicampur dengan bumbu kacang berbahan dasar tempe semangit.

Keunikan rujak ini ada pada penggunaan tempe yang difermentasi 3 hari, menciptakan rasa khas dan dipercaya menyimbolkan pengorbanan serta ketekunan petani.

 

7. Gethuk Lindri: Bukti Kreativitas Kuliner Rakyat

Gethuk lindri berasal dari masa penjajahan, ketika masyarakat kesulitan mendapat beras. Singkong menjadi pengganti utama, yang ditumbuk, dicampur gula dan pewarna alami, lalu dicetak memanjang.

Pada zaman dulu, pewarna dibuat dari bunga telang (biru), daun suji (hijau), dan ubi ungu. Selain lezat, tampilannya mencolok dan penuh makna: kesederhanaan yang dibungkus seni.

 

Menyusun Kembali Rasa, Menghidupkan Kembali Warisan

Ketujuh makanan di atas tak hanya soal rasa, tapi juga menyimpan cerita tentang perjuangan rakyat Jawa, adaptasi terhadap lingkungan, dan penghormatan terhadap siklus alam. Dengan mengenal kembali kulinerJawa kuno, kita tak hanya mengisi perut, tapi juga merawat identitas dan sejarah bangsa.

Sebagai generasi penerus, kita bisa berperan aktif dalam mengenalkan makanan ini ke publik luas—melalui dokumentasi, eksperimen resep, atau bahkan promosi di media sosial. Jika tidak dimulai sekarang, bisa jadi generasi berikutnya hanya akan mengenalnya lewat buku sejarah.